(Telah 3 kali
dibacakan pada event Festival Penulis Internasional, Panggung Ekspresi Sulsel
2012 dan PPTS 2013)
Edisi, Makassar 20 Mei 2012. Revisi 21
Februari 2013.
Karya
: Kamiluddin (fb:
Kamilck Pujangga Spjm)
Orang-Orang
di sekitarku. Mengibarkan bendera orasi masa kini.
Masa
yang menghanyutkan pucuk daun muda dalam arus demokrasi buta.
Sungguh
kasihan saja, watak mereka sebagai daun muda pucuk bangsa ini.
Jarang
lagi kreasi tercipta di jemari. Pena menjadi terparkir dalam saku.
Tutur
santun menjadi hal yang tabuh di lisan. Tercipta bak karakter biadab.
Atau….
Pantaskah sang pena berkelahi dengan
senjata?
Atau ekstensi moral hanya menjadi
lukisan dinding kota?
Corak amoral keragaman budaya anarki
memasung kalimat-kalimat ambigu.
Melukai tulang hasta
Berdarah hingga bernanah.
Malukah ketika tawuran menjadi budaya
Mendarah daging dalam karakter
berbangsa.
Mulai Anak Sekolah Hingga
menteri-menteri terhormat.
Mari siapa saja
duduk di atas gelaran permadani budaya!
Jangan termangu saja!
Lukis wajah sendiri dengan kanvas.
Memulas keindahan dalam bingkai
keragaman seni
Yang tak sekedar jadi hakikat apresiasi.
Hmmmm….kawan..begitulah
Kerusuhan
dan Anarkis menjadi bumbu kehidupan Mencoreng wajah sang merah putih.
Adat
istiadat…,
Nilai
luhur…,
Petuah
dan tata krama tergantung di mega biru.
Saat
leher tikus-tikus berdasi tercekik.
Saat
tangisan rakyat jelata menjadi fenomena mengais seonggok sampah sejarah.
Berbicara
perihal sampah berikut nyanyianku tentang sampah…
Eee……ee……eeeeee
Sampai sumpah simpan sampah.
Simpan saja sampahmu di bak sampah.
Sampah-sampah negeri menyimpan sumpah di bak sampah.
Sampaikan juga sumpah kita untuk sampah-sampah negeri ini.
Jangan sampai menjadi sampah di persimpangan sampah.
Tat kala sampah saja dicaci kata sampah.
Tak perlu berdalih sampai sesampah itu.
Jikalau habitatmu disimpan pada tumpukan-tumpukan sampah.
Oh kepada pemimpin negeri ini..
Sumpah kami tak perlu sumpahmu sampai sampah-sampah disapu bersih dibakar sumpah.
Wahai sosok sampah, enyahlah dari bumi yang kau tumpuk dengan sampah.
Simpan saja sampahmu di bak sampah.
Sampah-sampah negeri menyimpan sumpah di bak sampah.
Sampaikan juga sumpah kita untuk sampah-sampah negeri ini.
Jangan sampai menjadi sampah di persimpangan sampah.
Tat kala sampah saja dicaci kata sampah.
Tak perlu berdalih sampai sesampah itu.
Jikalau habitatmu disimpan pada tumpukan-tumpukan sampah.
Oh kepada pemimpin negeri ini..
Sumpah kami tak perlu sumpahmu sampai sampah-sampah disapu bersih dibakar sumpah.
Wahai sosok sampah, enyahlah dari bumi yang kau tumpuk dengan sampah.
Bunda pertiwi, semakin gelisah seolah bergumam
kapan sampah kotor negara ini terseret arus dan tak kembali?
Agar sedih tak lagi mewarnai
potret Indonesiaku saat ini.
Kini pun Aku ingin menjadi alamamater
dan penulis sejati melawan tanpa senjata.
Menulis kisah dan melukis wajah
bangsaku,
Dalam bahasa kesedihan merajam dinding
hati pahlawan yang belum mati.
hanya
tinta hitam dan kertas buram menjadi simfoni hidup saat ini.
Ohhhh….00HHH…
Kepada
para diktator.
Biarkanlah
syair bergeming membahasakan dirinya sendiri dalam secarik kertas usang
berkiprah di masa kini.
Saat
pena menjadi saksi bisu perdamaian dan kedaulatan sejati yang telah mati.
Di
balik kisah Jamahlah mata-mata bening Pengemis.
Tangannya
sungguh mungil berderet menghiasi gemerlap kota.
Menorehkan
pedih dihati bunda pertiwi.
Saat
manusia berkepala tikus berpesta meneguk-neguk tetesan air mata.
Gema
tawanya (ahhahahahaha)…..adalah
rintihan tangis mereka.
Manusia
berkepala tikus, langkahnya selalu dipacu oleh ambisi.
Enteng,
dia duduk bersila kaki.
Memutuskan
rantai harapan insan jelata.
Insan
yang tergeletak tidur di sudut-sudut kota.
Tanah
airku menangis saat hari kebangkitan nasional menjadi fatamorgana.
Indonesiaku
kehilangan wajahnya sendiri.
Dicuri
dan dirampas manusia berkepala tikus.